In Memoriam; My Last Hero
“Kamu yakin To? si Juni yang jual tanah ini ma kamu??”
“Nggeh mbah, ini sertifikat tanahnya..
Saya taunya memang mbah mau jual tanah ini jadi pas Juni nawarin saya langsung beli
Mbah kan tau saya juga cuma ngenger di tanah orang, jadi saya ga pikir panjang mbah”
Mbah Wir termangu sejenak, dibenaknya terlintas tingkah anak laki2nya, masa depan ia dan istrinya, namun ia pun kasihan pada Yanto, yang sehari-hari bekerja sebagai kuli becak di komplek pasar…
“Ya wis To, tapi mbah kasih waktu mbah juga ga tau mau pindah kemana, mbah udah ngga punya sodara lagi”
“Ia mbah, gapapa saya juga mau ngumpulin uang lagi buat mbedhol rumah,
Nggeh mpun mbah saya pamit”
Yanto segera pamit dari hadapan Mbah Wir dan Istrinya, masygul… entah apa yang merasuki Juni anak laki2 mbah Wir, ia tak lagi tinggal bersama kedua orang tuanya, dan sudah berkeluarga sendiri. Hidupnya pun sudah cukup untuk ukuran orang2 di desa. Mungkin harta memang bukan jaminan seseorang merasa cukup dan bahagia
Sore itu seorang guru datang bertandang ke rumah mbah Wir, singkat cerita guru muda tersebut mengutarakan keinginannya
“Mpun mbah, mbah ga usah kuatir rumah ini mau dipindah kemana…
Mbah kakung sama mbah putri pindah saja ke pekarangan saya”
“Tapi mas guru, pekarangan itu kan hasil kerjamu sama istrimu, buat bekal anak2mu nanti
Lagian mbah ga punya uang buat bayar sewa tanah”
“Mpun mbah gapapa, ga perlu dipikirin, mbah kakung sama mbah putri boleh tinggal disana sampai selesai, ga perlu mbah mikirin uang sewa, sekalian mbah bisa ngerawat pekarangan itu, besok kita kumpulkan orang buat bedhol rumah saja”
*****************************

Kadang kami berbagi puntung rokok yang sama, ada kalanya ia membutuhkan keikhlasan beberapa rupiah dariku untuk makan sehari-hari. Kadang aku sengaja menyisihkan makanan untuk kubawa kerumahnya. Yah pertemanan beda usia, layaknya keakraban seorang kakek dan cucunya. Hari berganti sampai akhirnya tiba saatnya aku menjadi orang terakhir yang pindah ke Jogja menyusul semua anggota keluargaku.
*****************************************
WIRJADIMEDJA…aku memungut papan nama itu dari tanah, rumah mbah Wir kini sudah dirubuhkan, dijual perbagian oleh anak lelakinya. Bapakku melarangnya menjual rumah itu utuh diatas tanahku, yah bapak ga ingin si pembeli menganggap membeli rumah berikut tanah dibawahnya. Mbah Wir sendiri sudah meninggal beberapa bulan yang lalu, aku tak datang ke pemakamannya, ia dimakamkan jauh dari kampungku oleh kerabat jauhnya. Terakhir aku bawakan beberapa makanan untuknya. Ia hanya terbaring lemah ketika itu….yah seorang diri.
Yah…. disinilah aku berdiri, di atas tanah ini 20 tahun silam seorang pahlawan telah menyelamatkanku dari api yang membakar rumahku. Tempat yang sama jua mbah Wir memindahkan rumahnya diatas pondasi rumahku, disinilah pahlawan itu menghembuskan nafas terakhir setahun lalu. Terimakasih pak tua, karenamu Tuhan telah memberiku lebih banyak waktu di dunia ini.
Wirjadimedja
193x – 2008
nek simbahku asmane: martodimedjo
hihihi klo dibaca pake dialek jaman pak karno saya juga geli
marto on the table,itu bahasa inggrisnya..wkwkwkwkw…
hiks..hiks..terharu biru…smoga mbah Wir mendapat tempat yg layak di sisiNya 🙂
kisah nyata?
Terharu, jadi ingat seorang perempuan setengah bya yg pernah menyelamatkn nyawaku dng mau merawatku…
Budi dan jasa yang tak terbayar ya mas.Ikut prihatin dan berduka.
HiksTerharuT_T
heeeee almarhum mbah buyutku jg pd di panggil mbah wir,, tapi nama lengkapnya aku g tau
ia aku pas kecil emang ketawa coz mikir klo diinggrisin ya artinya itu, hmmmklo orang batak bisa jadi mereka satu marga bune, gandeng mereka orang jawa….mungkin jaman mudanya satu klub panjat pinang x hehehe
amin mbak ria
n_nbayi itu saya mbak uchi
hmmmayuk ditulis ayuk ditulis
n_ni never know before
n_n makasih mba mifta
mungkin masih satu marga ya…. hmmm pasti sama2 keturunan mbah adam to??
brati yg ninggal kmaren itu,, sama dg kisah ini(bayi itu saya mbak)ya alloh aku jadi ikut sedih bngt,,*wis ngrambang ki*ya engko tak kirimi fatihah, inya alloh,,
bukan nek yang ninggal kemaren emang mbahku beneran, bapaknya bapakku….nek yang aku maksud disini dah meninggal setahun kemarenn_n
Ga nyangka bayine wis sa’mene gedene yo….
hahaha hehehe huhe huhe
Sad 😦
n_n hehe